Senin, 09 April 2012

REFORMASI MANAJEMEN KEUANGAN DAERAH


Perkembangan system tata kelola pemerintahan di Indonesia dalam satu dasawarsa terakhir (1998 s.d 2008) mengalami suatu kemajuan yang sangat pesat. Dalam waktu yang sangat singkat, pemerintah Indonesia telah melewati serangkain proses reformasi sector public, khusunya reformasi manajemen keuangan daerah. Reformasi manajemen keuangan daerah merupakan suatu berkah dari gerakan reformasi yang digelorakan di tahun 1998 setelah Indonesia mengalami krisis multidimensi.

Perkembangan Reformasi Manajemen Keuangan Daerah
Perjalanan reformasi manajemen keuangan derah di Indonesia dibagi dalam 3 fase, yaitu :
  1. Era pra-otonomi daerah dan desentralisasi fiscal. Selama masa ini belum ada system akuntansi keuangan daerah yang baik, yang ada baru sebtas tata buku. Pengelolaan keuangan daerah mendasarkan pada buku Manual Administrasi Keuangan Daerah (MAKUDA) tahun 1981 yang pada esensinya belum merupakan system akuntansi, tetapi sekadar penatausahaan keuangan/ tata buku.
  2. Era Transisi Otonomi (2000-2003).  Merupakan masa awal implementasi otonomi daerah. Masa ini masih belum mantapnya perangkat hokum, kelembagaan infrastruktur, dan sumber daya manusia daerah dalam mewujudkan tujuan otonomi daerah. Peraturan perundangan yang menonjol dalam era ini adalah Kepmendagri No. 29 tahun 2002.
  3. Era pascatransisi (2004-sekarang). Adalah masa setelah diberlakukannya paket peraturan perundangan yang merupakan suatu peraturan menyeluruh dan komprehensif (omnibus regulations) mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pelaporan, pengauditan dan evaluasi kinerja atas pengelolaan keuangan daerah.

Tabel 1.1 Perkembangan Peraturan Perundangan Terkait Manajemen Keuangan Daerah
Pra-otonomi Daerah dan Desentralisai Fisikal
Transisi otonomi (Reformasi Tahap 1)
Pascatransisi Otonomi (Reformasi Tahap 2)


UU No. 5 Thn 1974


UU No. 22 Thn 1999
UU No. 25 Thn 1999
UU No. 17 Thn 2003
UU No. 1    Thn 2004
UU No. 15  Thn 2004
UU No. 25  Thn 2004
UU No. 32 Thn 2004
UU No. 33 Thn 2004
PP No. 5 Thn 1975
PP No. 6 Thn 1975
PP No. 105 Thn 2000
PP No. 108 Thn 2000
UU No. 24 Thn 2005
UU No. 58 Thn 2005

Manual Administrasi
Keuangan Daerah
(MAKUDA 1981)
Kepmendagri No. 29
Thn 2002

Permendagri No. 13 Tahun 2006 (Direvisi menjadi Permendagri No. 59 Tahun 2007)
Peraturan Daerah :
Pokok-pokok Pengelolaan
Keuangan Daerah
Peraturan KDH

Aspek Utama Reformasi Manajemen Keuangan Daerah
Aspek Utama Reformasi Manajemen Keuangan Daerah meliputi :
1.      Perubahan Sistem Anggaran
Perubahan system anggaran traisional menjadi system anggaran berbasis prestasi kerja. Perubahan system penganggaran ini meliputi perubahan dalam proses penganggaran dan perubahan struktur anggaran.  Perubahan system ini tidak hanya menyangkut proses penganggarannya saja, tapi juga perubahan struktur anggaran. Struktur anggaran dirubah dari struktur anggaran tradisional menjadi penganggaran berbasis kinerja.

Penggunaan system penganggaran kinerja di pemerintah daerah telah membawa perubahan yang radikal terkait dengan perubahan dalam perencanaan anggaran, pengisian anggaran, dan pelaporan anggaran. Secara manajerial perubahan struktur ini berpengaruh terhadap perubahan paradigma anggaran, sedangkan secara teknis berpengaruh pada kode rekening anggaran dan tata cara pencatatannya.

Pada anggaran tradisional, kinerja anggaran diukur dari sisi inputnya, yakni dilihat dari kemampuannya dalam penyerapan anggaran. Anggaran yang tidak terserap (sisa anggaran) harus dikembalikan lagi ke rekening kas Negara dan sebagai konsekuensinya anggaran satuan kerja tersebut untuk tahun berikutnya terancam tidak akan ditambah bahkan bisa dikurangi.

2.      Perubahan Kelembagaan Pengeloalaan Keuangan Daerah
Perubahan kelembagaan pengelolaan keuangan daerah dari system sentralisiasi pada bagian keuangan secretariat daerah menjadi system desentralisasi ke masing-masing satuan kerja.

Penataan ulang kelembagaan pengelolaan keuangan daerah itu bukan saja untuk menyesuaikan system anggaran yang baru, tapi juga dimaksudkan untuk mendukung tercapainya tujuan desntralisasi fiscal. Beberapa perubahan kelembagaan pengelolaan keuangan daerah tersebut antara lain:

a.       Perubahan pengelolaan keuangan di pemerintah daerah dari system sentralisasi pada Bagian Keuangan Sekretariat Daerah menjadi system desentralisasi ke masing-masing satuan kerja. Konsekuensinya setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah harus menyelenggarakan akuntansi dan menyusun laporan keuangan satuan kerja bersangkutan yaitu Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, dan Catatan Atas Laporan Keuangan. Bagian Keuangan (BPKD) selanjutnya bertugas mengkonsolidasikan laporan keuangan seluruh satuan kerja yang ada menjadi Laporan Keuangan Pemerintah Daerah.

b.       Pejabat yang terkait dengan pengelolaan keuangan daerah meliputi :
1.       Kepala Daerah selaku Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah
2.       Sekretariat Daerah selaku Kuasa Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah sekaligus merupakan Koordinator Pengelolaan Keuangan Daerah
3.       Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah (Biro/Bagian Keuangan) selaku Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD) sekaligus merupakan Bendahara Umum Daerah (BUD)
4.       Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah selaku Pengguna Anggaran/ Pengguna Barang
5.       Kuasa Pengguna Anggaran/ Kuasa Pengguna Barang
6.       Pejabat Penatausahaan Keuangan Satuan Kerja Perangkat Daerah (PPK-SKPD)
7.       Bendahara Penerimaan/Pengeluaran SKPD
8.       Bendahara Penerimaan/ Pengeluaran Pembantu
9.       Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK)

3.      Perubahan Sistem Akuntansi Keuangan Daerah
Perubahan system akuntansi dari system tata buku tunggal (single entry bookkeeping) menjadi sistem tata buku berpasangan (double entry bookkeeping).

Untuk meningkatkan transparasi dan akuntabilitas public dalam rangka mendukung pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiscal, maka diperlukan reformasi akuntansi sector public di Indonesia.

Aspek yang diperlukan dalam reformasi akuntansi adalah perlunya dimiliki standar akuntansi pemerintahan dan perlunya dilakukan perubahan sistem akuntansi, yaitu perubahan dari single entry menjadi double entry.

Single entry pada awalnya digunakan sebagai dasar pembukuan di pemerintahan karena cukup mudah dan praktis. Namun karena single entry tidak dapat memberikan informasi yang komprehensif dan mencerminkan kinerja yang sesungguhnya. Maka beralihlah dari sistem single entry ke double entry.

Double entry ditujukan untuk menghasilkan laporan keuangan yang lebih mudah untuk dilakukan audit dan pelacakan antara bukti transaksi, catatan, dan keberadaan  akekayaan, utang, dan ekuitas organisasi. Dengan sistem ini maka pengukuran kinerja dapat dilakukan secara lebih komprehensif.

Perubahan Basis Pencatatan Akuntansi
Basis kas ini dinilai mengandung banyak kelemahan. Memang setiap basis akuntansi yang digunakan, baik basis kas, basis kas modifikasian, akrual modifikasian maupun basis akrual masing-masing memiliki keunggulan dan kelemahan. Perubahan teknik akuntansi dari basis kas menjadi akrual bertujuan agar pemerintah daerah dapat menghasilkan laporan keuangan yang lebih dapat dipercaya, akurat, komprehensif, dan relevan untuk pengambilan keputusan ekonomi, social, dan politik.

4.      Perubahan dari Basis Kas Menuju Akrual (Cash Towards Accrual)
Perubahan basis akuntansi dari basis kas (cash basis) menjadi basis akrual (accrual basis).
Basis akuntansi merupakan dasar akuntansi yang menetapkan kapan transaksi-transaksi yang berpengaruh terhadap keuangan organisasi harus diakui/ dibukukan untuk tujuan pelaporan keuangan. Ada beberapa basis pencatatan akuntansi yang bias dipilih oleh pemerintah  daerah, diantaranya :

                  1.       Akuntansi basis kas (cash basis)
                  2.       Akuntansi basis kas modifikasian (modified cash basis)
                  3.       Akuntansi basis akrual modifikasian (modified accrual basis)
                  4.       Akuntansi basis akrual (accrual basis)

Keempat pendekatan ini pada dasarnya bersifat continuum dari basis kas sampai basis akrual. Perbedaan Basis kas Akuntansi tersebut berkaitan dengan penetapan waktu pengakuan dan pengukuran suatu transaksi (timing of recognition).

Basis Kas mengakui dan mencatat transkasi pada saat kas diterima/ dikeluarkan.  Basis Kas tidak mencat utang, piutang dan aktiva secara komprehensif. Akuntansi basis kas digunakan untuk menunjukan ketaatan pada anggaran belanja (spending limits). Akuntansi basis kas mempunyai kelemahan, yaitu menghasilkan laporan keuangan yang kurang komprehensif untuk pengambilan keputusan serta tidak dapat menggambarkan kinerja organisasi secara lebih baik. Dan tidak mampu memberikan informasi aset, utang-piutang, dan ekuitas secara komprehensif.

Basis Akrual mengakui transaksi keuangan pada saat terjadinya, yaitu ketika sudah menjadi hak atau kewajibannya meskipun belum diterima/ dikeluarkan kasnya. Dengan basis akrual organisasi akan mengakui adanya utang, piutang dan asset.

Pemerintah daerah bias saja langsung pindah dar basis kas ke basis akrual. Namun Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 mengatur pemerintah daerah untuk menggunakan basis kas modifikasian, yaitu kombinasi dasar kas dengan akrual. Berdasrkan basis kas tersebut, transaksi penerimaan kas atau pengeluaran kas dibukukan pada saat uang diterima/ dibayarkan (basis kas). Dan pada akhir periode dilakukan penyesuaian untuk menghasilkan neraca yaitu dengan cara mengakui transaksi dan kejadian dalam periode berjalan walaupun penerimaan/ pengeluaran kas belum terealisir. Dengan demikian, pencatatan anggaran menggunakan basis kas, sedangkan untuk menghasilkan laporan neraca di akhir periode akuntansi digunakan basis akrual.

Perubahan secara langsung dari basis kas menjadi basis akrual akan bersifat radikal, padahal selama bertahun-tahun basis kas telah mendarah daging bagi pegawai keuangan pemerintah daerah. Penerapan secara langsung basis akrual membutuhkan daya dukung teknologi serta sumber daya manusia yang memiliki latar belakang pendidikan akuntansi yang memadai. Permasalahan penerapan basis akuntansi bukan sekedar masalah teknis akuntansi, yaitu bagaimana mencatat transaksi dan menyajikan laporan keuangan, tapi yang lebih penting adalah bagaimana menentukan kebijakan akuntansi (accounting policy), perlakuan akuntansi untuk suatu transaksi (accounting treatment), pilihan akuntansi (accounting choice) dan mendesain/ menganalisis sistem akuntansi yang ada.

Masih terdapat beberapa permasalahan yang akan dihadapi apabila menggunakan secara langsung akuntansi basis akrual. Hal ini terkait dengan definisi, pengakuan, pengukuran serta kebijakan akuntansi asset, modal (ekuitas), pendapatan dan belanja untuk organisasi pemerintah. Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 meskipun belum ideal dan dalam beberapa hal masih terdapat kelemahan, tapi juga bagi daerah cukup membantu, terutama dalam tahap awal implementasi sistem anggaran kinerja dan sistem akuntansi keuangan daerah.  UU No. 17/2003 juga secara eksplisit menegaskan tentang pengguanaan akuntansi akrual, demikian juga dengan PP No. 24/2005 tentang standar Akuntansi Pemerintahan. Munculnya PP No. 24/2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan merupakan penyempurnaan dari Kepmendagri No. 29/2002 dilihat dari aspek akuntansinya. Dalam PP No. 24/2005 ini, basis pencatatan akuntansi yang digunakan sudah diarahkan menuju akrual. Memang unit kerjanya dimungkinkan menggunakan basis akrual sepenuhnya, namun untuk pencatatan akuntansi pendapatan, belanja dan pembiayaan perlu dilakukan penyesuaian ke basis kas di akhir periode.

Untuk memberikan kesan bahwa PP No. 24/2005 tersebut masih memberikan ruang gerak untuk melakukan transisi dari Kepmendagri No. 29/ 2002 dengan pendekatan basis kas modifikasian, maka istilah yang kemudian dimunculkan adalah pendekatan kas menuju akrual (cash towards accrual). Dengan kenyataan tersebut , sebenarnya PP No. 24/ 2005 itu belum ideal. Karena adanya perbedaab basis akuntansi untuk akun riil (neraca) dan akun nominal (laporan realisasi anggaran) dapat menimbulkan permasalahan teknis pencatatan akuntansinya.

Permasalahan yang muncul terkait dengan reformasi menuju akrual tersebut diantaranya :
  • Masalah SDM terkait dengan masih kurangnya tenaga akuntan di daerah.
  • Masih rendahnya dukungan Teknologi Informasi di daerah.
  • Masih rendahnya tingkat penggunaan laporan keuangan daerah untuk pengambilan keputusan.
  • Belum adanya penghargaan (reward) yang masih memadai  bagi daerah yang memiliki sistem informasi akuntansi daerah yang baik.
  • Masih tingginya ancaman korupsi sistematik di daerah yang dapat menggagalkan implementasi akrual.
IKHTISAR
  1. Tujuan pelaksanaan otonomi daerah adalah mewujudkan sistem tata kelola pemerintahan yang baik yang ditandai dengan meningkatnya kemandirian daerah, adanya transparasi dan akuntabilitas public, pemerintah daerah yang semakin responsif pada masyarakat, meningkatnya partisipasi public dalam pembengunan daerah, meningkatnya efisiensi dan efektifitas pengelolaan keuangan dan pelayanan public, serta meningkatnya demokratisasi di daeah.
  2. Secara historis, reformasi manajemen keuangan daerah di Indonesia dapat dibagi dalam 3 fase, yaitu: 1) era pra-otonomi daerah dan desntralisasi fiscal (1974-1999), 2) era transisi otonomi (2000-2003), dan era pascatransisi (2004-2008).
  3. Aspek utama reformasi manajemen keuangan daerah meliputi perubahan sistem anggaran, perubahan kelembagaan pengelolaan keuangan daerah, perubahan sistem akuntansi, dan perubahan basis akuntansi.

4 komentar: