Senin, 09 April 2012

MANAJEMEN PENDAPATAN DAERAH

Ada 3 Hal utama yang menopang keberhasilan manajemen keuangan public,  yaitu : manajemen pendapatan, manajemen belanja dan manajemen pembiayaan.  Pengetahuan dan keahlian tentang manajemen pendapatan bagi para manajer public  sangat penting karena besar kecilnya pendapatan akan menentukan tingkat kualitas pelaksanaan pemerintahan, tingkat kemampuan pemerintah dalam penyediaan pelayanan public serta keberhasilan pelaksanaan program dan kegiatan pembangunan.

Siklus Manajemen Pendapatan Daerah
Tahapan  siklus manajemen pendapatan daerah adalah identifikasi sumber, administrasi, koleksi, pencatatan/ akuntansi dan alokasi pendapatan.

1.    Identifikasi Sumber Pendapatan
   Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan berupa pendataan sumber-sumber pendapatan termasuk menghitung potensi pendapatan. Identifikasi pendapatan pemerintah meliputi :
·         Pendataan objek pajak, subjek pajak, dan wajib pajak;
·         Pendataan objek retribusi, subjek retribusi, dan wajib retribusi;
·         Pendataan sumber penerimaan bukan pajak;
·         Pendataan lain-lain pendapatan yang sah;
·         Pendataan potensi pendapatan untuk masing-masing jenis pendapatan.

2.    Administrasi Pendapatan
     Administrasi pendapatan sangat penting dalam siklus mamnajemen pendapatan karena pada ahap ini akan menjadi dasar untuk tahapan koleksi pendapatan. Kegiatan yang akan dilakukan meliputi :
·         Penetapan wajib pajak dan retribusi;
·         Penentuan jumlah pajak dan retribusi;
·         Penetapan Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah dan Nomor Pokok Wajib Retribusi;
·         Penerbitan Surat Ketetapan Pajak Daerah dan Surat Ketetapan Retribusi.

3.    Koleksi Pendapatan
    Koleksi pendapatan meliputi penarikan, pemungutan, penagihan dan pengumpulan pendapatan baik yang berasal dari wajib pajak daerah dan retribusi daerah, dana perimbangan dari pemerintah pusat ataupun sumber lainnya.
    Khusus untuk pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah dapat digunakan beberapa sistem, diantaranya :
1.   Self assessment system : ialah sistem pemungutan pajak daerah yang dihitung, dilaporkan dan dibayarkan sendiri oleh wajib pajak daerah. Dengan sistem ini wajib pajak mengisi Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD) dan membayarkan pajak terutangnya ke Kantor Pelayanan Pajak Daerah (KPPD)/ unit kerja yang ditetapkan pemerintah daerah.
2.    Official assessment system : ialah sistem pemungutan pajak yang nilai pajaknya ditetapkan oleh pemerintah. Dalam hal ini ditetapkan oleh gubernur/bupati/walikota melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Daerah dan Surat Ketetapan retribusi yang menunjukan jumlah pajak/ retribusi daerah terutang.
3.    Joint collection : ialah sistem pemunguan pajak daerah yang dipungut oleh pemungut pajak yang ditunjuk pemerintah daerah.

4.     Pencatatan (Akuntansi) Pendapatan
a)    Setiap penerimaan pendapatan harus segera disetor ke rekening kas umum daerah pada hari itu juga/ paling lambat sehari setelah diterimanya pendapatan tersebut.  Untuk menampung seluruh sumber pendapatan perlu dibuat satu rekening tunggal (treasury single account), dalam hal ini rekening kas umum daerah.
b) Tujuan pembuatan satu pintu untuk pemasukan pendapatan adalah untuk memudahkan pengendalian dan pengawasan pendapatan. Penerimaan pendapatan tersebut dibukukan dalam buku akuntansi, berupa jurnal kas, buku pembantu, buku besar penerimaan per rincian objek pendapatan. Kemudian buku catatan akuntansi tersebut akan diringkas dan dilaporkan dalam laporan keuangan pemerintah daerah, yaitu Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, dan Laporan Arus Kas.

5.    Alokasi Pendapatan
Alokasi Pendapatan merupakan tahapan terakhir dari siklus manajemen pendapatan
ini, yaitu pengambilan keputusan untuk menggunakan dana yang ada untuk membiayai pengeluaran daerah yang dilakukan. Pengeluaran daerah meliputi pengeluaran belanja, yaitu, belanja operasi dan belanja modal, maupun untuk pembiayaan pengeluaran yang meliputi pembentukan dana cadangan, penyertaan modal daerah, pembayaran utang dan pemberian pinjaman daerah.

Mengenali Sumber-sumber Pendapatan Daerah
Sumber pendapatan pemerintah daerah relative terprediksi dan lebih stabil sebab pendapat tersebut diatur oleh undang- undang dan peraturan daerah yang bersifat mengikat dan dapat dipaksakan. Pemerintah daerah dengan paying hokum peraturan perundangan berhak memungut pajak daerah dan retribusi daerah. Pemerintah dapat memaksa wajib pajak untuk membayar pajak dan memberikan sanksi apabila tidak patuh pajak. Dengan demikian pendapatan di pemerintah daerah relative stabil.
Sumber pendapatan daerah dapat dibedakan menjadi 2, yaitu :

 1. Sumber pendapatan yang saat ini ada dan sudah ditetapkan dengan peraturan perundangan. Meskipun pemerintah daerah telah diberi otonomi secara luas dan desentralisasi fiscal, namun pelaksanaan otonomi tersebut harus tetap berada dalam koridor hokum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam hal sumber penerimaan yang menjadi hak pemerintah daerah, Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah; dan Undang-undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah telah menetapkan sumber-sumber penerimaan daerah, sbb:
I.                    PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD)
a.       Pajak Daerah
b.       Reribusi Daerah
c.       Bagian Laba Pengelolaan Aset Daerah yang dipisahkan
d.       Lain-lain PAD yang sah
II.                  TRANSFER PEMERINTAH PUSAT
a.       Bagi Hasil Pajak
b.       Bagi Hasil Sumbeer Daya Alam
c.       Dana Alokasi Umum
d.       Dana Alokasi Khusus
e.       Dana Otonami Khusus
f.        Dana Penyesuaian
III.               TRANSFER PEMERINTAH PROVINSI
a.       Bagi Hasil Pajak
b.       Bagi Hasil Sumber Daya Alam
c.       Bagi Hasil Lainnya
IV.                LAIN-LAIN PENDAPATAN DAERAH YANG SAH
               
  2. Sumber pendapatan di masa datang yang masih potensial/ tersembunyi dan baru akan diperoleh apabila sudah dilakukan upaya-upaya tertentu. Pemerintah juga perlu menciptakan sumber-sumber pendapatan baru, sumber pendapatan baru ini bias diperoleh misalnya melalui inovasi program ekonomi daerah, program kemitraan pemerintah daerah dengan pihak swasta dan sebagainya.

Prinsip Dasar Manajemen Penerimaan Daerah
Pada dasarnya terdapat beberapa prinsip dasar yang perlu diperhatikan pemerintah daerah dalam membangun sistem manajemen penerimaan daerah, yaitu :
      1.      Perluasan Basis Penerimaan
     Perluasan Basis Penerimaan yaitu memperluas sumber penerimaan. Untuk memperluas basis penerimaan, maka pemerintah daerah dapat melakukannya dengan cara berikut.

a.       Mengidentifikasi pembayar pajak/ retribusi dan menjaring wajib pajak/ retribusi baru;
b.       Mengevalusi tarif pajak/ retribusi;
c.       Meningkatkan basis data objek pajak/ retribusi;
d.       Melakukan penilaian kembali (appraisal) atas objek pajak/ retribusi.

      2.      Pengendalian atas Kebocoran Pendapatan
    Kebocoran pendapatan bias disebabkan karena penghindaran pajak (tax avoidance), Penggelapan pajak (tax evasion), pungutan liar/ korupsi petugas. Untuk mengurangi kebocoran pendapatan ada beberapa langkah yang dapat dilakukan, diantaranya :
a.       Melakukan audit, baik rutin maupun incidental;
b.       Memperbaiki sistem akuntansi penerimaan daerah;
c.       Memberikan penghargaan yang memadai bagi masyarakat yang taat pajak dan hukuman (sanksi) yang berat bagi yang tidak mematuhinya;
d.       Meningkatkan disiplin dan moralitas pegawai yang terlibat dalam pemungutan pendapatan.

      3.      Peningkatan Efisiensi Administrasi Pajak
      Efisiensi administrasi pajak sangat berpengaruh terhadap peningkatan kinerja penerimaan daerah. Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan pemerintah daerah untuk meningkatkan efisiensi adminitrasi pajak, yaitu :
a.       Memperbaiki prosedur administrasi pajak sehingga lebih mudah dan sederhana.
b.       Mengurangi biaya pemungutan pendapatan.
c.       Menjalin kerjasama dengan berbagi pihak, seperti bank, kantor pos, koperasi dan pihak ketiga lainnya untuk memberikan kemudahan dan kenyamanan dalam membayar pajak.

      4.      Transparasi dan Akuntabilitas
   Dengan adanya transparasi dan akuntabilitas maka pengawasan dan pengendalian manajemen pendapatan daerah akan semakin baik. Selain itu, kebocoran pendapatan juga dapat lebih ditekan. Untuk melaksanakan prisip transparasi dan akuntabilitas ini memang membutuhkan beberapa persyaratan. Diantaranya :
a.  Adanya dukungan Teknologi (TI) untuk membangun Sistem Informasi Manajemen Pendapatan Daerah.
b.       Adanya staf yang memiliki kompetensi dan keahlian yang memadai.
c.       Tidak adanya korupsi sistematik di lingkungan entitas pengelola pendapatan daerah.

Manajemen Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Peningkatan kemandirian daerah sangat erat kaitannya dengan kemampuan daerah dalam mengelola Pendapatan Asli Daerah (PAD). Semakin tinggi kemampuan daerah dalam menghasilkan PAD, maka semakin besar pula diskresi daerah untuk menggunakan PAD tersebut sesuai dengan aspirasi, kebutuhan dan prioritas pembangunan daerah. Walaupun pelakanaan otonomi daerah sudah dilaksanan sejak 1 Januari 2001, namun hingga tahun 2009 baru sedikit pemerintah daerah yang mengalami penigkatan kemandirian keuangan daerah secara signifikan.

Memang berdasarkan data yang dikeluarkan Departemen Keuangan, secara umum penerimaan PAD pada era otonomi daerah mengalami penigkatan yang cukup signifikan dibandingkan dengan era sebelumnya. Penting bagi pemerintah daerah untuk menaruh perhatian yang lebih besar terhadap manajemen Pendapatan Asli Daerah. Manajemen PAD tidak berarti eksploitsai PAD, tetapi bagaimana pemerintah daerah mampu mengoptimalkan penerimaan PAD sesuai dengan potensi yang dimiliki. Bahkan lebih dari itu bagaimana  pemerintah daerah mampu meningkatkan potensi PAD di masa  datang.

Manajemen Pajak Daerah
Pajak daerah memberikan kontribusi terbesar pada penerimaan Pendapatan Asli Daerah. Kontribusi pajak daerah pada total penerimaan daerah juga terus mengalami peningkatan. Pemerintah daerah juga masih akan menerima bagi hasil PPh Wajib Pribadi, PBB dan BPHTB yang jumlahnya cukup besar bagi daerah.

Peraturan perundangan mengenai pajak daerah mengalami beberapa kali perubahan. Peraturan perundangan di bidang pajak daerah antara lain UU No. 11 Drt Thn 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah, UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, UU No. 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Kemudian pada Tahun 2009 pemerintah pusat mengeluarkan UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah menggantikan UU No. 34 Tahun 2000.

Prinsip Pajak Daerah
Manajemen pajak daerah juga terkait dengan pemenuhan prinsip-prinsip umum perpajakan daerah yang baik. Prinsip pajak daerah tersebut adalah (Devas, 1989) :

1.      Prinsip Elastisitas.
     Pajak daerah harus memberikan pendapatan yang cukup dan elastis, artinya mudah naik turun mengikuti naik/turunnya tingkat pendapatan masyarakat.

2.      Prinsip Keadilan.
      Implikasi prinsip keadilan terhadap manajemen pajak daerah adalah perlunya pemerintah daerah menerapkan tarif pajak yang progresif untuk jenis pajak tertentu dan menerapkan perlakuan hukum yang sama bagi seluruh wajib pajak sehingga tidak ada yang kebal pajak.  

3.      Prinsip Kemudahan Administrasi.
    Administrasi pajak daerah harus fleksibel, sederhana, mudah dihitung dan memberikan pelayanan yang memusakan bagi wajib pajak.

4.      Prinsip Keterterimaan Politis.
    Implikasi prinsip ini terhadap manajemen pajak daerah perlunya pemerintah bekerjasama dengan DPRD dan melibatkan kelompok –kelompok masyarakat dalam menetapkan kebijakan pajak daerah dan sosialisasi pajak daerah. Dan jika dimungkinkan, melibatkan masyarakat dalam pemungutan pajak tertentu.


5.      Prinsip Nonditorsi Terhadap Perekonomian.
   Pajak daerah tidak boleh menimbulkan dampak negative terhadap perekonomian. Diusahakan jangan sampai suatu pajak/ pungutan menimbulkan beban tambahan yang berlebihan sehingga merugikan masyarakat dan perekonomian daerah.

Manajemen perpajakan daerah harus mampu menciptakan sistem pemungutan yang ekonomis, efisien dan efektis. Pemda harus memastikan bahwa penerimaan pajak lebih besar dari biaya pemungutannya dan Pemda perlu menjaga stabilitas penerimaan pajak terebut.
Fluktuasi penerimaan pajak hendaknya dijaga tidak terlalu besar sebab jika sangat fluktuatif juga kurang baik untuk perencanaan keuangan daerah.

IKHTISAR
1. Siklus manajemen pendapatan daerah terdiri dari :
a. Identifikasi sumber-sumber pendapatan daerah
b. Administrasi Pendapatan daerah
c. Koleksi/ pemungutan pendapatan daerah
d. Pencatatan akuntansi pendapatan daerah
e. Alokasi pendapatan daerah
2. Prinsip dasar dalam membangun sistem manajemen penerimaan daerah yang baik :
a. Perluasan basis penerimaan
b. Pengendalian atas kebocoran pendapatan
c. Peningkatan efisiensi administrasi pendapatan
d. Peningkatan transparasi dan akuntabilitas manajemen pendapatan daerah.
3. Untuk memperluas basis penerimaan, pemerintah daerah perlu melakukan identifikasi
     pembayar pajak/ retribusi dan menjaring wajib pajak/ retribusi baru, mengevaluasi tariff pajak/  
     retribusi, meningkatkan basis data objek pajak/ retribusi dan meningkatkan disiplin dan
     moralitas pegawai yang terlibat dalam pemungutan pendapatan.
4. Untuk mengurangi kebocoran pendapatan, pemerintah daerah perlu melakukan audit
     pendapatan, memperbaiki sistem akuntansi penerimaan daerah, membangun sistem
     penghargaan (reward) dan hukuman (punishment) yang memadai dan meningkatkan disiplin
     dan moralitas pegawai yang terlibat dalam pemungutan pendapatan.
5. Untuk mengoptimalisasi penerimaan daerah, selain melakukan optimalisasi PAD, pemerintah
     daerah perlu mengoptimalkan penerimaan dari dana perimbangan, khususnya dana bagi hasil. 

REFORMASI MANAJEMEN KEUANGAN DAERAH


Perkembangan system tata kelola pemerintahan di Indonesia dalam satu dasawarsa terakhir (1998 s.d 2008) mengalami suatu kemajuan yang sangat pesat. Dalam waktu yang sangat singkat, pemerintah Indonesia telah melewati serangkain proses reformasi sector public, khusunya reformasi manajemen keuangan daerah. Reformasi manajemen keuangan daerah merupakan suatu berkah dari gerakan reformasi yang digelorakan di tahun 1998 setelah Indonesia mengalami krisis multidimensi.

Perkembangan Reformasi Manajemen Keuangan Daerah
Perjalanan reformasi manajemen keuangan derah di Indonesia dibagi dalam 3 fase, yaitu :
  1. Era pra-otonomi daerah dan desentralisasi fiscal. Selama masa ini belum ada system akuntansi keuangan daerah yang baik, yang ada baru sebtas tata buku. Pengelolaan keuangan daerah mendasarkan pada buku Manual Administrasi Keuangan Daerah (MAKUDA) tahun 1981 yang pada esensinya belum merupakan system akuntansi, tetapi sekadar penatausahaan keuangan/ tata buku.
  2. Era Transisi Otonomi (2000-2003).  Merupakan masa awal implementasi otonomi daerah. Masa ini masih belum mantapnya perangkat hokum, kelembagaan infrastruktur, dan sumber daya manusia daerah dalam mewujudkan tujuan otonomi daerah. Peraturan perundangan yang menonjol dalam era ini adalah Kepmendagri No. 29 tahun 2002.
  3. Era pascatransisi (2004-sekarang). Adalah masa setelah diberlakukannya paket peraturan perundangan yang merupakan suatu peraturan menyeluruh dan komprehensif (omnibus regulations) mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pelaporan, pengauditan dan evaluasi kinerja atas pengelolaan keuangan daerah.

Tabel 1.1 Perkembangan Peraturan Perundangan Terkait Manajemen Keuangan Daerah
Pra-otonomi Daerah dan Desentralisai Fisikal
Transisi otonomi (Reformasi Tahap 1)
Pascatransisi Otonomi (Reformasi Tahap 2)


UU No. 5 Thn 1974


UU No. 22 Thn 1999
UU No. 25 Thn 1999
UU No. 17 Thn 2003
UU No. 1    Thn 2004
UU No. 15  Thn 2004
UU No. 25  Thn 2004
UU No. 32 Thn 2004
UU No. 33 Thn 2004
PP No. 5 Thn 1975
PP No. 6 Thn 1975
PP No. 105 Thn 2000
PP No. 108 Thn 2000
UU No. 24 Thn 2005
UU No. 58 Thn 2005

Manual Administrasi
Keuangan Daerah
(MAKUDA 1981)
Kepmendagri No. 29
Thn 2002

Permendagri No. 13 Tahun 2006 (Direvisi menjadi Permendagri No. 59 Tahun 2007)
Peraturan Daerah :
Pokok-pokok Pengelolaan
Keuangan Daerah
Peraturan KDH

Aspek Utama Reformasi Manajemen Keuangan Daerah
Aspek Utama Reformasi Manajemen Keuangan Daerah meliputi :
1.      Perubahan Sistem Anggaran
Perubahan system anggaran traisional menjadi system anggaran berbasis prestasi kerja. Perubahan system penganggaran ini meliputi perubahan dalam proses penganggaran dan perubahan struktur anggaran.  Perubahan system ini tidak hanya menyangkut proses penganggarannya saja, tapi juga perubahan struktur anggaran. Struktur anggaran dirubah dari struktur anggaran tradisional menjadi penganggaran berbasis kinerja.

Penggunaan system penganggaran kinerja di pemerintah daerah telah membawa perubahan yang radikal terkait dengan perubahan dalam perencanaan anggaran, pengisian anggaran, dan pelaporan anggaran. Secara manajerial perubahan struktur ini berpengaruh terhadap perubahan paradigma anggaran, sedangkan secara teknis berpengaruh pada kode rekening anggaran dan tata cara pencatatannya.

Pada anggaran tradisional, kinerja anggaran diukur dari sisi inputnya, yakni dilihat dari kemampuannya dalam penyerapan anggaran. Anggaran yang tidak terserap (sisa anggaran) harus dikembalikan lagi ke rekening kas Negara dan sebagai konsekuensinya anggaran satuan kerja tersebut untuk tahun berikutnya terancam tidak akan ditambah bahkan bisa dikurangi.

2.      Perubahan Kelembagaan Pengeloalaan Keuangan Daerah
Perubahan kelembagaan pengelolaan keuangan daerah dari system sentralisiasi pada bagian keuangan secretariat daerah menjadi system desentralisasi ke masing-masing satuan kerja.

Penataan ulang kelembagaan pengelolaan keuangan daerah itu bukan saja untuk menyesuaikan system anggaran yang baru, tapi juga dimaksudkan untuk mendukung tercapainya tujuan desntralisasi fiscal. Beberapa perubahan kelembagaan pengelolaan keuangan daerah tersebut antara lain:

a.       Perubahan pengelolaan keuangan di pemerintah daerah dari system sentralisasi pada Bagian Keuangan Sekretariat Daerah menjadi system desentralisasi ke masing-masing satuan kerja. Konsekuensinya setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah harus menyelenggarakan akuntansi dan menyusun laporan keuangan satuan kerja bersangkutan yaitu Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, dan Catatan Atas Laporan Keuangan. Bagian Keuangan (BPKD) selanjutnya bertugas mengkonsolidasikan laporan keuangan seluruh satuan kerja yang ada menjadi Laporan Keuangan Pemerintah Daerah.

b.       Pejabat yang terkait dengan pengelolaan keuangan daerah meliputi :
1.       Kepala Daerah selaku Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah
2.       Sekretariat Daerah selaku Kuasa Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah sekaligus merupakan Koordinator Pengelolaan Keuangan Daerah
3.       Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah (Biro/Bagian Keuangan) selaku Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD) sekaligus merupakan Bendahara Umum Daerah (BUD)
4.       Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah selaku Pengguna Anggaran/ Pengguna Barang
5.       Kuasa Pengguna Anggaran/ Kuasa Pengguna Barang
6.       Pejabat Penatausahaan Keuangan Satuan Kerja Perangkat Daerah (PPK-SKPD)
7.       Bendahara Penerimaan/Pengeluaran SKPD
8.       Bendahara Penerimaan/ Pengeluaran Pembantu
9.       Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK)

3.      Perubahan Sistem Akuntansi Keuangan Daerah
Perubahan system akuntansi dari system tata buku tunggal (single entry bookkeeping) menjadi sistem tata buku berpasangan (double entry bookkeeping).

Untuk meningkatkan transparasi dan akuntabilitas public dalam rangka mendukung pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiscal, maka diperlukan reformasi akuntansi sector public di Indonesia.

Aspek yang diperlukan dalam reformasi akuntansi adalah perlunya dimiliki standar akuntansi pemerintahan dan perlunya dilakukan perubahan sistem akuntansi, yaitu perubahan dari single entry menjadi double entry.

Single entry pada awalnya digunakan sebagai dasar pembukuan di pemerintahan karena cukup mudah dan praktis. Namun karena single entry tidak dapat memberikan informasi yang komprehensif dan mencerminkan kinerja yang sesungguhnya. Maka beralihlah dari sistem single entry ke double entry.

Double entry ditujukan untuk menghasilkan laporan keuangan yang lebih mudah untuk dilakukan audit dan pelacakan antara bukti transaksi, catatan, dan keberadaan  akekayaan, utang, dan ekuitas organisasi. Dengan sistem ini maka pengukuran kinerja dapat dilakukan secara lebih komprehensif.

Perubahan Basis Pencatatan Akuntansi
Basis kas ini dinilai mengandung banyak kelemahan. Memang setiap basis akuntansi yang digunakan, baik basis kas, basis kas modifikasian, akrual modifikasian maupun basis akrual masing-masing memiliki keunggulan dan kelemahan. Perubahan teknik akuntansi dari basis kas menjadi akrual bertujuan agar pemerintah daerah dapat menghasilkan laporan keuangan yang lebih dapat dipercaya, akurat, komprehensif, dan relevan untuk pengambilan keputusan ekonomi, social, dan politik.

4.      Perubahan dari Basis Kas Menuju Akrual (Cash Towards Accrual)
Perubahan basis akuntansi dari basis kas (cash basis) menjadi basis akrual (accrual basis).
Basis akuntansi merupakan dasar akuntansi yang menetapkan kapan transaksi-transaksi yang berpengaruh terhadap keuangan organisasi harus diakui/ dibukukan untuk tujuan pelaporan keuangan. Ada beberapa basis pencatatan akuntansi yang bias dipilih oleh pemerintah  daerah, diantaranya :

                  1.       Akuntansi basis kas (cash basis)
                  2.       Akuntansi basis kas modifikasian (modified cash basis)
                  3.       Akuntansi basis akrual modifikasian (modified accrual basis)
                  4.       Akuntansi basis akrual (accrual basis)

Keempat pendekatan ini pada dasarnya bersifat continuum dari basis kas sampai basis akrual. Perbedaan Basis kas Akuntansi tersebut berkaitan dengan penetapan waktu pengakuan dan pengukuran suatu transaksi (timing of recognition).

Basis Kas mengakui dan mencatat transkasi pada saat kas diterima/ dikeluarkan.  Basis Kas tidak mencat utang, piutang dan aktiva secara komprehensif. Akuntansi basis kas digunakan untuk menunjukan ketaatan pada anggaran belanja (spending limits). Akuntansi basis kas mempunyai kelemahan, yaitu menghasilkan laporan keuangan yang kurang komprehensif untuk pengambilan keputusan serta tidak dapat menggambarkan kinerja organisasi secara lebih baik. Dan tidak mampu memberikan informasi aset, utang-piutang, dan ekuitas secara komprehensif.

Basis Akrual mengakui transaksi keuangan pada saat terjadinya, yaitu ketika sudah menjadi hak atau kewajibannya meskipun belum diterima/ dikeluarkan kasnya. Dengan basis akrual organisasi akan mengakui adanya utang, piutang dan asset.

Pemerintah daerah bias saja langsung pindah dar basis kas ke basis akrual. Namun Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 mengatur pemerintah daerah untuk menggunakan basis kas modifikasian, yaitu kombinasi dasar kas dengan akrual. Berdasrkan basis kas tersebut, transaksi penerimaan kas atau pengeluaran kas dibukukan pada saat uang diterima/ dibayarkan (basis kas). Dan pada akhir periode dilakukan penyesuaian untuk menghasilkan neraca yaitu dengan cara mengakui transaksi dan kejadian dalam periode berjalan walaupun penerimaan/ pengeluaran kas belum terealisir. Dengan demikian, pencatatan anggaran menggunakan basis kas, sedangkan untuk menghasilkan laporan neraca di akhir periode akuntansi digunakan basis akrual.

Perubahan secara langsung dari basis kas menjadi basis akrual akan bersifat radikal, padahal selama bertahun-tahun basis kas telah mendarah daging bagi pegawai keuangan pemerintah daerah. Penerapan secara langsung basis akrual membutuhkan daya dukung teknologi serta sumber daya manusia yang memiliki latar belakang pendidikan akuntansi yang memadai. Permasalahan penerapan basis akuntansi bukan sekedar masalah teknis akuntansi, yaitu bagaimana mencatat transaksi dan menyajikan laporan keuangan, tapi yang lebih penting adalah bagaimana menentukan kebijakan akuntansi (accounting policy), perlakuan akuntansi untuk suatu transaksi (accounting treatment), pilihan akuntansi (accounting choice) dan mendesain/ menganalisis sistem akuntansi yang ada.

Masih terdapat beberapa permasalahan yang akan dihadapi apabila menggunakan secara langsung akuntansi basis akrual. Hal ini terkait dengan definisi, pengakuan, pengukuran serta kebijakan akuntansi asset, modal (ekuitas), pendapatan dan belanja untuk organisasi pemerintah. Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 meskipun belum ideal dan dalam beberapa hal masih terdapat kelemahan, tapi juga bagi daerah cukup membantu, terutama dalam tahap awal implementasi sistem anggaran kinerja dan sistem akuntansi keuangan daerah.  UU No. 17/2003 juga secara eksplisit menegaskan tentang pengguanaan akuntansi akrual, demikian juga dengan PP No. 24/2005 tentang standar Akuntansi Pemerintahan. Munculnya PP No. 24/2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan merupakan penyempurnaan dari Kepmendagri No. 29/2002 dilihat dari aspek akuntansinya. Dalam PP No. 24/2005 ini, basis pencatatan akuntansi yang digunakan sudah diarahkan menuju akrual. Memang unit kerjanya dimungkinkan menggunakan basis akrual sepenuhnya, namun untuk pencatatan akuntansi pendapatan, belanja dan pembiayaan perlu dilakukan penyesuaian ke basis kas di akhir periode.

Untuk memberikan kesan bahwa PP No. 24/2005 tersebut masih memberikan ruang gerak untuk melakukan transisi dari Kepmendagri No. 29/ 2002 dengan pendekatan basis kas modifikasian, maka istilah yang kemudian dimunculkan adalah pendekatan kas menuju akrual (cash towards accrual). Dengan kenyataan tersebut , sebenarnya PP No. 24/ 2005 itu belum ideal. Karena adanya perbedaab basis akuntansi untuk akun riil (neraca) dan akun nominal (laporan realisasi anggaran) dapat menimbulkan permasalahan teknis pencatatan akuntansinya.

Permasalahan yang muncul terkait dengan reformasi menuju akrual tersebut diantaranya :
  • Masalah SDM terkait dengan masih kurangnya tenaga akuntan di daerah.
  • Masih rendahnya dukungan Teknologi Informasi di daerah.
  • Masih rendahnya tingkat penggunaan laporan keuangan daerah untuk pengambilan keputusan.
  • Belum adanya penghargaan (reward) yang masih memadai  bagi daerah yang memiliki sistem informasi akuntansi daerah yang baik.
  • Masih tingginya ancaman korupsi sistematik di daerah yang dapat menggagalkan implementasi akrual.
IKHTISAR
  1. Tujuan pelaksanaan otonomi daerah adalah mewujudkan sistem tata kelola pemerintahan yang baik yang ditandai dengan meningkatnya kemandirian daerah, adanya transparasi dan akuntabilitas public, pemerintah daerah yang semakin responsif pada masyarakat, meningkatnya partisipasi public dalam pembengunan daerah, meningkatnya efisiensi dan efektifitas pengelolaan keuangan dan pelayanan public, serta meningkatnya demokratisasi di daeah.
  2. Secara historis, reformasi manajemen keuangan daerah di Indonesia dapat dibagi dalam 3 fase, yaitu: 1) era pra-otonomi daerah dan desntralisasi fiscal (1974-1999), 2) era transisi otonomi (2000-2003), dan era pascatransisi (2004-2008).
  3. Aspek utama reformasi manajemen keuangan daerah meliputi perubahan sistem anggaran, perubahan kelembagaan pengelolaan keuangan daerah, perubahan sistem akuntansi, dan perubahan basis akuntansi.

Rabu, 28 Maret 2012

Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIPKD)

Pengelolaan Keuangan Daerah dan Laporan Keuangan
Pada tahun 1999 Pemerintah melakukan reformasi atau perubahan di bidang pemerintahan daerah dan pengolahan keuangan daerah dengan ditetapkannya undang-udang nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Kedua undang-udang tersebut membawakan dampat yg fundamental dalam hubungan tata pemerintah dan pengolahan keuangan daerah.

Perubahan tidak hanya terjadi pada pengolahan keuangan daerah, tetapi juga pada pengelolaan keuangan negara, yaitu dengan ditetapkannya 4 (empat) undang-undang:
  1. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
  2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
  3. Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
  4. Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Perencanan Pembangunan Nasional.

Karena 4 undang-udang tersebut juga mengatur pengelolaan keuangan daerah maka terjadi revisi Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Menjadi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 menjadi Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 mengacu pada ke-4 undang-undang tersebut agar dalam Pengelolaan dana APBN dan APBD menjadi seragam. Keberhasilan suatu daerah dalam pengelolaan keuangan daerah mempunyai  dampak langsung terhadap keberhasilan otonomi daerah dan sumbangan yang besar dalam upaya mewujudkan good govermance.

Dalam mewujudkan transparansi dalam pengelolaan keuangan daerah maka dikeluarkan peraturan Pemerintahan Nomor 56 Tahun 2006 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah yang pada intinya pemerintah daerah wajib menyajikan informasi keuangan daerah secara terbuka kepada masyarakat, konsekuensinya setiap pemerintahan daerah harus membangun sistem informasi keuangan daerah yang baik.

Dalam Mewujudkan akuntabilitas dan transparansi di lingkungan pemerintah mengharuskan setiap pengelola keuangan Negara untuk menyampaikan laporan pertanggungjawaban pengelolaan keuangan dengan cakupan yang lebih luas dan tepat waktu, maka di tetapkan lah Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-undang Nomor 1 tentang Perbendaharaan Menegaskan atas pelaksanaan APBD, kepala daerah menyampaikan rancangan peraturan daerah tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD kepada DPRD berupa Laporan Keuangan yang terdiri dari:
  • Laporan Realisasi Anggaran (LRA);
  • Neraca;
  • Laporan Arus Kas (LAK);
  • Catatan Atas Laporan Keuangan; dan
Laporan Ikhtisar Realisasi Kinerja dan Laporan Keuangan BUMD yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) paling lambat 6 bulan setelah tahun anggaran berakhir. Untuk memenuhi amat tersebut maka dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintahan. Peraturan ini menjabarkan lebih rinci komponen laporan keuangan yang wajib disusun dan disampaikan oelh setiap tingkatan Pengguna Anggaran, pengelola perbendaharaan, serta pemerintahan pusat/daerah. Dan selain itu, diatur juga hierarki kegiatan akuntansi mulai dari tingkat satuan kerja perangkat daerah sampai tersusunnya laporan keuangan pemerintah pusat/daerah.

Dalam laporan keuangan pemerintah pusat/daerah disertakan atau dilapirkan juga informasi tamabahan tentang kinerja instansi pemerintah, yakni prestasi yang berhasil dicapai oleh pengguna anggaran sehubungan dengan anggaran yang telah digunakan, selain itu juga disertakan pula ikhtisar laporan keuangan pemerintahan pusat/daerah untuk periode yang sama.

Untuk memenuhi laporan tersebut harus disusun sistem akuntabilitas kinerja instansi peerintahan yang terintegrasi dengan sistem perencanaan strategis, sistem penganggaran, dan sistem akuntansi pemerintahan. Satu hal yang amat penting dalam menjalankan akuntansi dan pelaporan keuangan dilingkungan pemerintah sebagaimana diatur pada Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 berhubungan dengan penetapan satuan kerja instansi yang memiliki tanggung jawab publik secara eksplisit dimana laporan keuangan wajib diaudit dengan opini dari lembaga pemeriksa yang berwenang. Instansi demikian digolongkan sebagai entitas pelaporan. Yang termasuk entitas pelaporan adalah pemerintah pusat, epemerintah daerah, setiap kementrian negara/lembaga, dan Bendahara Umum Negara. Sementara itu, setiap Kuasa Pengguna Anggaran, termasuk entitas pelaksana dana dekonsentrasi/tugas pembantu, untuk tingkat pemerintah pusat , perangkat daerah, Bendahara Umum Daerah, dan Kuasa Pengguna Anggaran tertentu di tingkat daerah diwajibkan menyelenggarakan akuntansi sebagai entitas akuntansi.

Kuasa Pengguna Anggaran dilingkungan pemerintah daerah dapat ditetapkan sebagai entitas akuntansi oleh gubernur/bupati/walikota bila mempunyai dokumen pelaksanaan anggaran yang terpisah, jumlah anggarannya relatif besar, dan pengelolaan kegiatannya dilakukan secara mandiri.

Standar Akuntansi Pemerintah
Pada pasal 32 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 menyatakan bentuk dan isi laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD disusun dan disajikan sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan selanjutnya pada pasal 57 Undang-undang Nomor 1 tentang Perbendaharaan menyatakan dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan akuntansi pemerintahan dibentuk komite standar akuntansi pemerintahan. Standar akuntansi pemerintahan ditetapkan dalam peraturan pemerintah. Agar komite standar akuntansi pemerintahan terjamin independensinya, komite dibentuk dengan Keputusan Presiden dan harus bekerja berdasarkan due process. Usul standar yang disusun oleh komite perlu mendapatkan pertimbangan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Berdasarkan ketentuan diatas, Presiden menetapkan Keputusan Presiden RI Nomor 84 Tahun 2004 tentang Komite Standar Akuntansi Pemerintah (KSAP) dan terakhir diubah Keputusan Presiden RI Nomor 2 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 84 Tahun 2004 tentang Komite Standar Akuntansi Pemerintahan. KSAP terdiri dari 2 yaitu:
  1. Komite Konsultatif Standar Akuntansi Pemerintah (Komite Konsultatif). Bertugas: Memberi konsultasi dan/atau pendapat dalam rangka perumusan konsep rancangan peraturan pemerintah tentang standar akuntansi pemerintahan.
  2. Komite Kerja Standar Akuntasi Pemerintah (Komite Kerja). Bertugas: Mempersiapkan, merumuskan, dan menyusun konsep rancangan peraturan pemerintah tentang standar akuntasi pemerintah.
Hasil kerja dari komite standar akuntansi pemerintahan telah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). SAP adalah Prinsip-prinsip akuntansi yang diterapkan dalam menyusun dan menyajikan laporan keuangan pemerintah. Dengan demikian SAP merupakan persayaratan yang mempunyai kekuatan hukum dalam upaya meningkatkan kualitas laporan keuangan pemerintah di Indonesia.

Sistem akuntansi pemerintahan pada tingkat pemerintah pusat diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan, sedangkan pada tingkat pemerintah daerah diatur Peraturan Gubernur/Bupati/Walikota mengacu pada Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Berpedoman pada Peraturan Pemerintah mengenai SAP.

PEMERIKSAAN LAPORAN KEUANGAN
Dalam Mewujudkan Pengelolaan keuangan Negara sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-undang nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara Perlu dilakukan pemeriksaan oelh suatu badan pemeriksa keuangan yang bebas dan mandiri, sebagaimana telah ditetapkan dalam Pasal 23E Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

Sesuai dengan amanat  Pasal 33 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 menyatakan pemeriksaan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan Negara diatur dalam undang-undang tersendiri. Sehingga pada tahun 2004 Pemerintah telah menetapkan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara.

Berdasarkan undang-undang tersebut laporan keuangan pemerintah pada gilirannya harus diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebelum disampaikan kepada pihak legislatif. Pemeriksaan BPK dimaksud adalah dalam rangka pemberiaan pendapat (opini). Laporan keuangan yang disusun oleh pemerintahan yang disampaikan kepada BPK untuk diperiksa masih berstatus belum audit (unaudited financial statements). Sebagaimananya, laporan keuangan tersebut setelah diperiksa dapat disesuaikan berdasarkan temuan audit dan/atau koreksi lain yang diharuskan oleh SAP. Laporan keuangan yang telah diperiksa dan telah diperbaiki itulah yang selanjutnya diusulkan oleh pemerintah pusat/daerah dalam suatu rancangan undang-undang atau peraturan daerah tentang Laporan Keuangan Pemerintah Pusat/Daerah untuk dibahas dengan dan disetujui oleh DPR/DPRD.